Sabtu, 26 Februari 2011

Budaya Minum Susu dan Peringkat SDM Kita

Budaya minum susu secara tidak langsung diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Namun, pada saat itu kita sebagai inlander hanya sekadar melihat dan mungkin meneteskan air liur melihat bangsa penjajah menikmati susu. Sementara, bangsa Indonesia harus berjuang keras untuk merebut kemerdekaan sehingga makan pun hanya seadanya. Minum susu hanyalah sekadar mimpi di zaman itu.Tertanam di benak kita bahwa kalau ingin mempunyai postur tinggi besar seperti orang Belanda dan ingin berkuasa seperti bangsa penjajah, maka minumlah susu.

Pada awal tahun 1950-an Prof Poorwo Sudarmo (Bapak Gizi Indonesia) mencetuskan empat sehat lima sempurna dengan menempatkan susu pada urutan terakhir. Karena ada kata sempurna, maka seolah-olah susu adalah penyempurna makanan kita sehari-hari. Padahal, barangkali saja susu diletakkan di urutan terakhir karena bangsa kita belum begitu mengenal susu dan juga susu masih merupakan barang langka yang harganya mahal.


Saat ini konsumsi susu bangsa Indonesia, meski sudah merdeka 57 tahun, ternyata masih sangat rendah yaitu hanya 5,10 kg/kap/tahun. Kalau kita telusur tren konsumsi susu dari tahun ke tahun, tampaknya memang ada kemajuan. Namun, kemajuan tersebut relatif lambat. Pada tahun 1970 konsumsi susu penduduk Indonesia hanya 1,82 kg/kap/ tahun, sepuluh tahun kemudian menjadi 4,36 kg (1980).

Krisis ekonomi berdampak buruk pada kemampuan masyarakat untuk membeli susu. Puncak konsumsi susu yang dicapai pada tahun 1995 (6,99 kg/kap/tahun) terus merosot hingga menjadi 5,10 kg/kap/tahun (1998). Konsumsi pangan hewani lainnya (telur dan daging) juga menurun pascakrisis ekonomi.

Angka-angka tadi bisa diterjemahkan dalam ukuran rumah tangga yaitu pada tahun 1998 rata-rata bangsa Indonesia hanya minum susu 1/2 gelas per minggu (14 gr/hari), satu butir telur/minggu (7 gr/hari), dan dua potong daging/minggu (20 gr/hari). Itulah cermin konsumsi makanan bergizi yang selama ini dimakan oleh masyarakat kita. Kita tidak bisa berharap terlalu banyak bahwa bangsa kita akan menjadi bangsa yang unggul dengan kualitas yang baik, apabila konsumsi makanan sehari-hari sangat minim akan pangan hewani asal ternak yang secara gizi berkualitas.

Budaya minum susu yang masih sangat rendah bisa dipahami dari beberapa segi.

Pertama, susu masih dianggap barang luks yang harganya mahal. Saat ini harga susu sekitar Rp 1.800 per liter atau setara dengan harga 1/2 kg beras. Di tengah kehidupan yang semakin sulit akibat krisis berkepanjangan, maka dapat dimaklumi kalau mayoritas masyarakat Indonesia lebih mementingkan membeli pangan sumber karbohidrat daripada sumber protein/mineral. Yang penting perut seluruh anggota keluarga bisa kenyang, sementara gizi adalah urusan belakangan.

Mahalnya harga susu mungkin disebabkan oleh sistem peternakan sapi perah di Indonesia yang belum efisien. Dan hal ini terjadi karena sapi perah sebenarnya berasal dari negara-negara subtropis, sehingga ketika harus berproduksi di negara tropis seperti Indonesia susu yang dihasilkan tidak sebanyak seperti di negara asalnya. Data tahun 1998 menunjukkan bahwa permintaan susu di Indonesia adalah sebesar 1.034,6 ribu ton. Demand ini dipenuhi dari produksi dalam negeri 1/3 dan 2/3 sisanya berasal dari impor. Jadi, lengkaplah alasan mengapa susu masih menjadi barang mahal.

Alasan kedua mengapa kita jarang minum susu adalah takut dengan masalah lactose intolerance. Pada usia bayi dan anak-anak tubuh kita menghasilkan enzim laktase dalam jumlah cukup sehingga susu dapat dicerna dengan baik. Ketika menginjak usia dewasa keberadaan enzim laktase semakin menurun sehingga sebagian dari kita akan menderita diare bila minum susu.

Penelitian di AS membuktikan bahwa konsumsi susu satu-dua cangkir pada penderita lactose intolerance tidak mendatangkan masalah. Dalam hal lactose intolerance ini tampaknya perlu bagi kita untuk sesering mungkin memperkenalkan susu kepada tubuh kita sehingga akan semakin terlatih untuk menerima laktosa. Ekspose susu secara terus-menerus mungkin akan bermanfaat bagi tubuh untuk tidak memberikan respons negatip terhadap kehadiran laktosa.

Piramida makanan di negara maju seperti Amerika menempatkan susu dan dairy products lainnya seperti keju dan mentega pada posisi puncak. Piramida makanan Indonesia menempatkan lauk-pauk secara keseluruhan (termasuk susu) pada posisi teratas. Hal ini menunjukkan bahwa susu bagi bangsa Indonesia belum memiliki status penting seperti halnya di negara-negara yang sudah maju.

Terkait dengan masalah osteoporosis (keropos tulang), maka susu mempunyai peranan penting untuk mencegah penyakit ini. Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk pembentukan tulang. Tulang manusia mengalami turning over yaitu peluruhan dan pembentukan secara berkesinambungan. Pada saat usia muda formasi tulang berlangsung lebih intens dibandingkan resorpsinya. Sementara pada usia tua resorpsi berlangsung lebih cepat dibandingkan formasinya. Itulah sebabnya pada usia tua terjadi apa yang disebut gradual lose of bone (proses kehilangan massa tulang).

Angka kecukupan gizi kalsium adalah 800-1200 mg/ orang/hari. Ini setara dengan tiga-empat gelas susu. Di Amerika yang konon masyarakatnya sangat banyak minum susu, ternyata, toh, tidak bisa juga memenuhi angka kecukupan gizi kalsium tersebut. Kontribusi dairy products (termasuk susu) terhadap kecukupan kalsium adalah 400 mg atau sekitar 35-50 persen (di AS). Di Indonesia, sumbangan susu terhadap kecukupan kalsium sekitar 20 mg karena kita hanya minum susu 15 tetes sehari.

Risiko osteoporosis akan semakin besar karena perilaku makan dan gaya hidup yang tidak benar. Mereka yang sering minum kopi, mengonsumsi gula, dan garam tinggi akan menyebabkan kalsium tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pembentukan tulang. Para perokok berat harus lebih waspada terhadap osteoporosis, demikian pula wanita yang telah memasuki masa menopause.

Pentingnya susu bagi kesehatan tidak hanya menyangkut masalah osteoporosis. Susu diketahui mendatangkan manfaat untuk optimalisasi produksi melatonin. Melatonin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pineal pada malam hari. Kehadiran melatonin akan membuat kita merasa mengantuk dan kemudian tubuh bisa beristirahat dengan baik. Susu yang mengandung banyak asam amino triptofan ternyata merupakan salah satu bahan dasar melatonin. Itulah sebabnya minum susu sebelum tidur sangat dianjurkan agar tidur kita lebih nyenyak.

Susu juga mempunyai kemampuan mengkhelat (mengikat) logam-logan berat yang bertebaran di sekitar kita akibat polusi. Dengan demikian susu bermanfaat untuk meminimalisir dampak keracunan logam berat yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh karena lingkungan yang terpolusi. Sangat baik kalau industri-industri yang melibatkan penggunaan logam berat menyediakan minuman susu bagi karyawannya.

Program gizi di negara maju senantiasa memasukkan susu sebagai komoditas wajib dalam Program Makanan Tambahan. Siswa-siswa di Amerika bisa menikmati Special Milk Program yang memberikan susu gratis atau bersubsidi. Anak-anak balita dan ibu hamil/menyusui dari kelas ekonomi rendah yang terdaftar dalam Program WIC (Women, Infants, and Children) bisa memperoleh susu sempai 15 liter per bulan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita merasa beruntung bahwa USDA (United States Department of Agriculture) membantu murid-murid di Indonesia untuk bisa mengonsumsi susu seminggu tiga kali. Pada tahun 1999-2000 bantuan susu tersebut telah dimanfaatkan oleh 465.673 siswa (khususnya di Jawa). Bantuan kemudian diperluas dengan susu kedelai dan sasarannya tidak hanya SD di Jawa tetapi juga di luar Jawa.

Ternyata negara lain (AS) ikut memikirkan SDM kita yang terpuruk. Pada tahun 1997-1998 berdasarkan Human Development Index UNDP negara Indonesia menduduki peringkat 99, peringkat ini hampir menyamai Filipina (98). Namun, tahun 1999 peringkat SDM kita merosot menjadi ke-105, sedangkan Filipina kondisinya semakin bagus dan menduduki peringkat ke-77. Kondisi kita hanya satu kelas lebih baik dibandingkan Vietnam.

Sangat tragis bahwa Indonesia yang sudah bercita-cita akan segera tinggal landas dan bersaing dengan negara-negara di Asia, kini tampak semakin uzur dan tak berdaya. Perbaikan SDM harus dilakukan dengan investasi di bidang gizi/ kesehatan dan pendidikan.

Program-program gizi di Indonesia dengan sasaran anak sekolah maupun anak balita sebaiknya tidak perlu alergi dengan susu. Susu sudah diakui sebagai minuman bergizi dan bergengsi. Sementara itu, masalah lactose intolerance tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Saya yakin banyak anak Indonesia yang bisa minum susu tanpa harus khawatir dengan diare. Apalagi industri susu kini sudah menerapkan teknologi tinggi seperti Ultra High Temperature (UHT) yang disertai kemasan aseptik sehingga susu dapat diminum kapan saja tanpa memerlukan alat penyimpan berpendingin. Susu hasil pemrosesan ini tahan disimpan berbulan-bulan dalam suhu ruang karena sudah steril.

Proses UHT juga berupaya untuk meminimalkan kerusakan gizi karena susu dipanaskan dalam suhu 140 derajat hanya dalam hitungan detik.

Program gizi untuk siswa seperti PMT-AS kini nyaris tenggelam karena otonomi daerah. Oleh karena itu, rintisan program susu sekolah sumbangan AS (USDA) perlu dipikirkan exit strategy-nya setelah bantuan berakhir. Bisakah pemerintah memberikan susu gratis pada generasi usia sekolah yang sedang sangat membutuhkan gizi ini?

Kalau tidak bisa, maukah pemerintah memberikan subsidi sehingga anak-anak di sekolah bisa membeli susu dengan harga murah?

Daripada mereka membeli jajanan dengan kualitas gizi dan keamanan pangan yang rendah akan lebih baik kalau sejak dini mereka membiasakan diri jajan susu bersubsidi.

Susu hanyalah salah satu makanan bergizi yang sampai saat ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Karena harga susu mahal dan budaya minum susu belum tertanam di kalangan masyarakat, maka diperlukan waktu untuk menjadikan susu sebagai food habits.


Sumber:
Prof Dr Ali Khomsan, Dosen Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga IPB
Tabloid Senior, 22 Mei 2003, dalam :
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1053664439,26248,
17 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar